Selasa, 20 Agustus 2013

Zakat di Akhir Zaman

Rasulullah saw adalah seorang Nabi akhir zaman, beliau diutus untuk menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia, tanpa kecuali. Salah satu pilar Islam yang merupakan rukun Islam yang ke 3 adalah zakat. Menurut Hukum Islam (istilah syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy). Pada makalah ini saya tidak akan membahas detail bagaimana hukum zakat dan dalil-dalilnya. Insya Allah saya sami’na wa atho’na dengan dalil-dalil yang ada terkait zakat. Namun, yang menjadi persoalan adalah, kondisi yang ada di zaman kita, yang tentunya lebih akhir dibanding zaman Rasulullah saw, sangat jauh berbeda dengan kondisi di zaman Rasulullah, zaman pertama kali syariat zakat diterapkan. Jauhnya perbedaan ini menimbulkan, bukan hanya pemahaman, tapi juga pelaksanaan yang berbeda-beda dari ibadah zakat. Bagaimanapun zakat adalah sebuah ibadah, ia hanya akan sah jika pelaksanaannya mengikuti rukun-rukun yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw, sebagaimana shalat, haji dan puasa. Shalat dan zakat, adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, bahkan khalifah Abu Bakar ash-shidiq pernah bersumpah akan memerangi orang-orang yang memisahkan shalat dengan zakat di masa awal pemerintahannya. Ini menunjukkan kedudukan zakat yang sederajat dengan shalat. Maka dari itu, penting bagi umat Islam untuk meninjau kembali pelaksanaan ibadah zakat ini.
Membahas masalah zakat, tentu terkait langsung dengan harta, karena memang sesuai definisi syariat di atas, bahwa zakat adalah pengambilan sejumlah bagian dari harta seorang muslim (muzaki) ketika telah memenuhi syarat-syarat tertentu, untuk diberikan kepada golongan tertentu (mustahik). Hikmah dari zakat ini adalah meratanya kesejahteraan di kalangan umat manusia, tidak seperti era kapitalisme saat ini dimana kesenjangan cukup lebar antara si kaya dan si miskin. Meskipun saat ini zakat telah banyak dikelola oleh lembaga-lembaga baik swasta maupun pemerintah, patut kita pertanyakan kenapa kesenjangan masih saja menganga, bahkan cenderung melebar?  Kita akan temukan jawabannya di bagian selanjutnya.  Dari jenis-jenis harta yang wajib di keluarkan zakatnya, salah satunya adalah uang. Inilah pangkal dari kajian kita kali ini, yaitu harta berupa uang (alat tukar) yang secara syar’i termasuk harta yang harus dizakati, dan juga merupakan pangkal dari perbedaan pemahaman dalil-dalil tentang zakat uang, lebih khususnya nanti akan di bahas beberapa kontroversi terkait zakat mata uang dan zakat profesi. Mata uang ini menjadi pangkal perbedaan karena memang terjadi deviasi yang sangat mendasar antara uang di zaman Rasulullah saw, dengan uang di zaman kita ini.

Mata Uang (Alat Tukar) Sesuai Sunnah Rasulullah saw
Kita akan membahas terlebih dulu uang di zaman Rasulullah yang tentunya telah diakui sebagai alat tukar yang tidak menyalahi syariat. Mari kita lihat hadits berikut:
Abu Sa'id al-Khudri menuturkan, "Bilal mendatangi Nabi dg membawa kurma yg sgt baik. Nabi saw bertanya, "Dari manakah kurma2 ini?" Bilal menjawab, "Kami punya kurma yg kurang baik kualitasnya sehingga aku menukarkan dua takar kurma yg jelek itu dg satu takar kurma yg baik, agar kami bisa memberikannya kpd Nabi". Mendengar ucapan Bilal, Nabi saw bersabda, "Oh, ohh! Itu riba, seperti itulah hakikat riba..! Jangan lakukan itu. Jika kau ingin membeli, juallah kurmamu terlebih dahulu dan kemudian belilah kurma yg kau inginkan dengan uang hasil penjualan itu". (HR. Bukhari-Muslim).
Dari hadits ini kita bisa melihat Rasulullah saw melarang tukar menukar barang sejenis, kurma dengan kurma, meskipun berbeda kualitas, dengan jumlah takaran yang berbeda. Rasulullah mengatakan bahwa penukaran seperti itu adalah hakikat dari riba. Tapi perhatikan dalil lain berikut:
Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik dari Naf’I bahwa Abdullah bin Umar membeli (menukar) seekor unta tunggangan betina dengan empat ekor unta lain dan dia berjanji untuk memberikan unta-unta tersebut kepada pembeli di ar-Rabadha. (Muwatta, Imam Malik)
Kita patut bertanya, mengapa tukar menukar kurma dalam jumlah/takaran yang berbeda (meskipun beda kualitas) dilarang oleh Rasulullah, sementara dalam hadits lain seorang sahabat yakni Abdullah ibnu Umar boleh melakukan pembelian (penukaran) satu ekor unta untuk empat unta lain.
Dari hadits berikut insya Allah kita akan bisa menyimpulkan jawabannya:
Abu Said Al-Khudri ra melaporkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama kadarnya dan janganlah melebihkan sebagiannya dengan mengurangi sebagian yang lain. Janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama kadarnya dan janganlah melebihkan sebagiannya dengan mengurangi sebagian yang lain. Dan janganlah menjual sesuatu yang berjangka dengan yang kontan. (Sahih Muslim).

Dari ketiga hadits di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan terkait alat tukar yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw dan para sahabat:
Pertama, alat tukar (uang) dalam Islam adalah logam berharga seperti emas dan perak (sesuai hadits ketiga), atau komoditi lain seperti tepung, gandum, kurma dan garam yang merupakan komoditi konsumsi/bahan pokok makanan yang memiliki umur simpan yang panjang. Ketika terjadi kelangkaan koin dinar dan dirham di Madinah, maka komoditi seperti kurma, yang melimpah ruah tersedia di pasaran dan memiliki umur simpan yang lama, bisa digunakan sebagai alat tukar (uang). Adapun unta, penukaran satu unta dengan empat unta diperbolehkan karena binatang tidak pernah digunakan sebagai alat tukar (uang). Penukaran satu sha’ kurma (kualitas bagus) dengan dua sha’ kurma (kualitas rendah) dilarang oleh Rasulullah karena kurma adalah komoditi yang bisa dijadikan alat tukar (uang), sebagaimana emas dan perak. Seandainya hal ini diperbolehkan maka akan membuka pintu bagi para lintah darat untuk meminjamkan uang dengan tambahan bunga.
Selain komoditi yang disebutkan di atas, bahan pokok seperti beras dan gula juga bisa dijadikan alat tukar yang memenuhi standar syariat. Maka perlu diperhatikan, jangan sampai melakukan penukaran langsung antara beras/gula yang satu dengan yang lain dalam jumlah takaran yang berbeda. Jika hendak melakukan, maka juallah terlebih dulu, kemudian uangnya digunakan untuk membeli yang lain. Dengan demikian, semua celah riba bisa tertutup rapat.
Kedua, ketika emas, perak, tepung, gandum, kurma dan garam (juga beras dan gula, dll) digunakan sebagai uang, nilai uang ada pada fisik alat tukar tersebut, bukan di luar itu. Sehingga, menjadi tuntutan syariah Islam, uang harus memiliki nilai langsung, atau intrinsic value.
Ketiga, komoditi yang dijadikan alat tukar (uang) dalam Islam adalah komoditi yang nilainya langsung diberikan oleh Allah swt, artinya tidak ada rekayasa atau intervensi manusia. Allah menyatakan diri-Nya adalah Ar-Razak, Sang Pemberi rizki, Sang Pemberi kekayaan kepada makhluk-Nya. Ini menutup kemungkinan manusia memperbudak manusia lain dengan mengendalikan nilai mata uang (seperti terjadi di era kapitalisme saat ini).

Uang Modern: Uang Kertas, Uang Digital
Setelah membahas definisi uang menurut syariah Islam, marilah kita tengok kenyataan uang yang kita gunakan saat ini. Semoga Allah membuka mata hati para pembaca sekalian sehingga kemudian bisa menyadari kenyataan yang selama ini tidak kita sadari. Semoga pula Allah menghindarkan kita dari sikap sombong menolak kebenaran setelah fakta ini disampaikan, sehingga masih saja kita mencari celah pembenaran tanpa disadari kita kemudian mewarisi sifat Iblis laknatullah ‘alaih – bathorul haq!
Membahas uang modern kita perlu flash back beberapa generasi kebelakang untuk mengetahui evolusi mata uang, bagaimana dulu uang modern menggantikan mata uang emas/perak. Karena sebelumnya tidak dikenal mata uang seperti saat ini, dari zaman babylonia kuno, logam berharga sudah menjadi alat tukar, hingga peradaban Byzantium, Romawi, Persia, Mongol, Yunani, dan Islam pun menggunakan logam mulia sebagai alat tukar. Sebagian dari peradaban ini memang saling berperang, tapi kesamaan seluruh peradaban tersebut adalah menjadikan emas dan perak sebagai mata uang dalam perekonomiannya. Antar peradaban pun berinteraksi secara ekonomi, tanpa arbitrasi yang rumit dalam jual beli, masing-masing bisa menggunakan uang sendiri dan saling tukar karena memiliki standard yang sama, emas dan perak dengan takaran khusus – dinar, dirham. Peradaban modern telah mengganti mata uang emas dan perak itu dengan uang fiat, atau uang tanpa nilai intrinsic.

Para perancang ekonomi modern secara sistematis menggeser emas dan perak yang merupakan mata uang yang stabil untuk tujuan tertentu. Mereka mendesain sebuah system moneter sedemikian rupa sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mengendalikan sumber-sumber ekonomi (sumber daya alam dan manusia), dan dengannya mereka – para bankir – bisa memiliki kekuatan absolut dalam mengendalikan kebijakan-kebijakan pemerintah/penguasa. Manipulasi seperti ini tidak bisa dilakukan jika alat tukar yang digunakan adalah emas dan perak, maka pada tahap awal, orang-orang ini mengenalkan system yang disebut sebagai Fractional Reserve Banking System.

Kelahiran Bank
Disini akan kita bahas bagaimana uang modern menggeser posisi emas dan perak sebagai mata uang. Segalanya bermula dari “tempat penitipan uang emas dan perak” yang digagas oleh Yahudi dengan tujuan awal yang memang masuk akal, yaitu agar orang-orang tidak perlu membawa atau menyimpan uang dalam jumlah banyak, terutama para saudagar-saudagar kaya. Inilah cikal bakal system perbankan. Yahudi ini menawarkan jasa penyimpanan uang, dan siapapun yang menyimpan uang akan menerima tanda terima, semacam kwitansi sesuai dengan jumlah uang yang dititipkan. Jika seseorang menitipkan 1000 dinar ke penitipan uang ini, maka ia akan mendapatkan lembaran surat, sertifikat, atau kwitansi dengan tertulis angka sesuai nominal yang dititipkan yakni 1000 dinar. Surat atau kwitansi ini pada perjalanan waktu digunakan juga dalam transaksi jual beli, pembeli membayar dengan kwitansi tersebut, dan penjual bisa menukar kwitansi tersebut dengan uang aslinya (dinar) di tempat penitipan uang terdekat.
Lama kelamaan transaksi menggunakan kwitansi menjadi semakin populer, penjual dan pembeli semakin merasa nyaman dengan transaksi yang mudah seperti itu. Mereka bisa menukar kwitansi kapanpun mereka mau. Yahudi licik pemilik bisnis penitipan uang ini menangkap aroma bisnis baru menggandakan uang mereka sehingga kemudian mereka mencetak kwitansi yang melebihi jumlah asset yang disimpan/dititipkan oleh nasabah. Contoh, jika penitipan, atau sebut saja bank memiliki asset 10,000 dinar, bank tersebut kemudian menerbitkan kwitansi untuk 100,000 dinar. Maka ada 90,000 dinar dalam bentuk kwitansi dilempar ke masyarakat, bisa dalam bentuk pinjaman, yang sejatinya tidak dibackup oleh dinar emas. Ketika peminjam membayar pinjamannya kepada bankir, yang dibayarkan adalah uang dinar sebenarnya. Inilah yang menguntungkan bankir, ia bisa mendapatkan resource yang real (emas, perak, dan sumber daya lainnya) hanya dengan meminjamkan kwitansi atau kertas yang disebut uang. Apakah pembaca sudah menyadari bahwa selama ini seperti keledai? Mari kita lanjutkan evolusi bank ini.
Di sisi lain, orang-orang tidak menyadari bahwa diantara kwitansi-kwitansi yang beredar, banyak kwitansi yang tidak memiliki asset nyata di bank, sehingga jika seluruh pemegang kwitansi secara bersamaan ingin menukarkan kwitansinya dengan uang asli, bank tidak akan bisa memberikannya. Cikal bakal bank ini awalnya terjadi di belahan Eropa, kemudian berkembang lintas benua sepanjang abad ke 16 hingga abad ke 17. Orang-orang semakin nyaman menggunakan bank karena memudahkan kegiatan ekonomi mereka, setidaknya itu yang mereka sangka. Pada hakikatnya, bankir menipu orang-orang dengan menyebarkan kwitansi bodong. Hingga suatu saat terjadi bencana peperangan, orang-orang mulai berduyun-duyun ke bank untuk mencairkan asset mereka, uang asli emas perak. Ribuan orang bermaksud menukar kwitansi, termasuk kwitansi bodong, tentu saja bank tidak memiliki asset sebanyak itu. Maka bank pun menjadi bangkrut dan bankir menelan kerugian yang besar. Ini banyak terjadi pada bank-bank kurun awal abad ke 19. Melihat gejala yang kurang menguntungkan kemudian kumpulan bankir yahudi melakukan gathering pada tahun 1913 yang kemudian melahirkan ide pembentukan konsorsium bank besar yang nantinya bertugas membantu bank-bank kecil jika dibutuhkan untuk menyelamatkannya dari kebangkrutan. Inilah awal mula terbentuknya Federal Reserve.

Penting untuk dicatat disini bahwa Federal Reserve BUKANLAH milik pemerintah Amerika (Negara adikuasa saat itu), tapi milik beberapa bankir kakap seperti bank of New York dan bank milik keluarga Rothschild,  bank of England.

Secara diam-diam, Federal Reserve mempengaruhi kebijakan pemerintah Amerika dengan penerapan pajak pendapatan pada Desember 1913. Undang-undang pajak ini digunakan oleh para elit bankir untuk merampok kekayaan dari para pekerja dan buruh dan memenuhi kantong-kantong mereka dengan membajak system keuangan Amerika. Selanjutnya, gangster bankir ini mengendalikan supply uang (kertas) di Amerika dengan mencetak sesuai keinginan, setiap kali pemerintah Amerika membutuhkan dana, mereka meminta kepada Federal Reserve untuk mencetak uang dan Federal Reserve memberikan uang itu dalam bentuk pinjaman, ya pinjaman. Tentunya pinjaman ini harus dikembalikan oleh pemerintah Amerika, beserta bunganya. Darimana pemerintah Amerika bisa membayar cicilan pinjaman itu selain dengan menerapkan pajak yang tinggi kepada rakyatnya (dan juga dengan memeras Negara-negara lain). Ketika terjadi bailout, rakyat Amerika pula yang menanggung akibatnya. Inilah kerusakan yang ditimbulkan dari system keuangan yang berlandaskan riba.

Perampokan Bersejarah tahun 1933
Pada tahun 1933, pemerintah Amerika dibawah Presiden Roosevelt menerapkan undang-undang yang mengharamkan penggunaan emas dan perak oleh warga Amerika untuk transaksi bisnis sehari-hari. Siapa saja yang melanggar peraturan ini akan dikenakan sangsi hingga 10,000 dollar termasuk ancaman penjara. Akibat aturan ini orang-orang mulai menukar emas mereka ke Federal Reserve, sebaliknya Federal Reserve memberikan kertas kwitansi yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah untuk transaksi bisnis. Pada saat itu harga emas sekitar 20 dollar per ons. Tak berapa lama kemudian, pemerintah membolehkan orang-orang untuk mengambil kembali (membeli kembali) emas mereka, sehingga orang-orang berduyun-duyun melakukannya. Orang-orang tersentak ketika mendapati bahwa mereka harus mengembalikan kwitansi senilai 35 dollar untuk satu ons emas mereka. Dengan demikian, bankir telah berhasil menelan hampir separuh dari emas milik masyarakat Amerika.

Kenapa harga emas bisa meningkat demikian cepat dan apa yang para bankir lakukan dengan hampir setengah emas milik rakyat Amerika yang mereka telan? Hingga hari ini, tidak ada jawaban yang jelas. Meski demikian, cukup mengherankan rakyat Amerika hanya diam seribu bahasa dan membiarkan dirinya tertipu tanpa banyak bertanya mengenai devaluasi yang terjadi, meski sebenarnya itu tidak masuk rasional siapa saja yang memiliki akal.

Yang terjadi sebenarnya adalah, para bankir menjadikan rakyat Amerika sebagai kelinci percobaan, mereka sedang mematangkan trick tersebut yang akan diterapkan pada system moneter internasional demi mendapatkan efek yang jauh lebih dahsyat. Untuk memulai penerapannya, dirancanglah Perang Dunia pertama yang mereka biayai, dengan cara meminjamkan dana (uang kertas) ke penguasa-penguasa Eropa. Setelah terjadi penghancuran kolosal akibat perang, para bankir mendapatkan pembayaran dari pemerintah Eropa sebagai pelunasan pinjaman biaya perang, bukan dalam bentuk uang kertas, tapi dalam bentuk bahan mentah emas (bullion)! Dengan modus yang sama, ini terjadi juga pada perang Dunia ke-2. Setelah PD II, seluruh sektor industri di Eropa praktis dikendalikan oleh oligarki bankir. Inilah cara bankir internasional menguasai cadangan emas dunia, pada pertengahan abad 20, sekitar 80% cadangan emas dunia berada di bawah kendali bankir-bankir ini.

Langkah berikutnya setelah Eropa, mereka menuju lahan yang lebih luas, dunia! Di awali dengan konfrensi Bretton Woods. Kesepakatan yang didapat dari konferensi tersebut adalah pembentukan Bank Internasional yang bertugas mengatur (atau dengan kata lain, mengendalikan) regulasi ekonomi dunia. Penting untuk dicatat bahwa piagam kesepakatan Bretton Woods yang melahirkan organisasi International Monetary Fund (IMF) secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada satu Negara pun di dunia yang diperbolehkan menggunakan emas/perak sebagai mata uang, tidak diperbolehkan juga Negara selain Amerika membackup mata uang kertasnya dengan emas. Hanya dollar Amerika saja yang dibackup oleh emas, sehingga dollar kemudian menjadi mata uang standar untuk perdagangan internasional, yang berlangsung hingga kini. Pada saat itu setiap 35 dollar Amerika dibackup oleh asset satu ons emas, cukup menggiurkan bagi Negara-negara lain untuk menyetok dollar Amerika di rekening mereka. Seluruh perdagangan internasional dilakukan dalam dollar, terutama minyak. Dua pusat perdagangan minyak dibangun, yaitu di London dan New York. Dollar Amerika pun menjadi mata uang minyak (petro-currency).

Komplotan bankir jahat ini masih belum puas dengan kekuasaan mereka terhadap perekonomian dunia, mereka menghendaki pengendalian dunia lebih jauh lagi. Mereka mulai menekan pemerintah Amerika agar melepas dollarnya dari backup emas. Dan akhirnya pada tahun 1971, akibat tekanan yang sangat intensif dari bankir, Richard Nixon mengakhiri standar emas pada Dollar Amerika. Dollar pun secara resmi menjadi uang kertas yang tidak dibackup value apapun. Ke depannya, dan saat ini pun sudah dapat kita rasakan kehadiran model alat tukar baru yang nantinya akan memastikan total pengendalian dunia oleh bankir oligarki yang misterius ini, yakni uang digital atau electronic money. Uang digital ini benar-benar menghilangkan uang secara fisik, digantikan oleh digit-digit elektronik yang tentunya hanya bisa dikendalikan oleh bank. Ketika model uang ini telah menjadi alat tukar di dunia, maka lengkaplah pengendalian bankir terhadap seluruh umat manusia, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, muda, tua, tanpa kecuali.

Apakah Bank Syariah benar-benar syariah?
Menengok sejarah kelam dari instrument ekonomi uang modern yang saat ini kita semua gunakan, rasanya wajar pertanyaan ini kita kemukakan. Jawabannya pun mungkin bervariasi, tergantung sudut pandang, dan juga pastinya “kepentingan”. Bagaimanapun para oligarki bankir, mereka memiliki kekuatan dan kerja yang sangat rapi, segala cara akan mereka lakukan untuk memastikan system ekonomi ribawi ini tetap eksis supaya umat manusia tetap berada dalam genggaman kendali mereka. Termasuk cara-cara infiltrasi yang cukup jitu membungkam umat manusia, terutama umat Islam yang semestinya menjadi umat terdepan dalam memerangi riba. Maka, pemikiran-pemikiran pembaruan dalam hal ekonomi modern masuk dalam khasanah keilmuan syariat melalui para cendekiawan muslim, hingga saat ini kita bisa melihat sudah banyak pakar ekonomi syariah. Satu hal yang kita pahami bersama, bahwa syariat Allah sudah pasti menghendaki terciptanya keadilan di muka bumi. Lantas, apakah mungkin sebuah system dikatakan syariah (comply dengan syariat Allah), jika masih menggunakan instrument ribawi seperti uang kertas dan uang digital? Di bagian sebelumnya sudah sama-sama kita pahami bahwa instrument tersebut adalah alat pengendalian umat manusia oleh segelintir manusia jahat yang ingin menguasai dunia. Tidak perlu kita perdebatkan panjang lebar, silahkan pembaca renungkan sendiri. Penulis yakin, tidak diperlukan gelar PhD, doktor ataupun professor untuk memahami penipuan ini. Semoga umat Islam makin menyadari bahaya infiltrasi yang memecah umat Islam dari dalam. Rasulullah saw mengatakan dalam sebuah hadits akhir zaman, bahwa akan datang suatu masa, umat Islam bagaikan makanan yang diperebutkan oleh musuh-musuh Allah. Mengapa beliau saw mengumpamakan umat Islam seperti makanan? Ada dua karakteristik makanan yg patut kita renungkan, pertama makanan adalah sesuatu yang mati, tidak bergerak, maksudnya umat Islam di akhir zaman benar-benar tidak bergerak, tidak melawan, kalaupun ada perlawanan maka kekuatannya jauh dibawah musuh-musuh Allah. Kedua, makanan memberikan energy kepada siapa yang memakannya. Umat Islam, karena meninggalkan alQuran dan Sunnah, membiarkan akal mereka terpasung dalam doktrinasi mainstream, pada akhirnya malah menciptakan sesuatu yang menguntungkan musuh-musuh Allah. Apa yang kita kenal sebagai “Bank Syariah” inilah contohnya. Contoh lain adalah masuknya umat Islam dalam permainan demokrasi. Wallahua’lam.

Zakat Profesi atau Zakat Maal?
Kembali ke inti pembahasan tulisan ini, yakni zakat. Salah satu pembaharuan yang terjadi dalam khasanah ilmu perzakatan adalah zakat profesi. Zakat ini menjadi ijtihad terbaru para ulama kontemporer untuk menjawab “tuntutan zaman”. Tuntutan zaman itu adalah banyaknya manusia yang bekerja menjual jasa di era modern, baik di korporasi-korporasi besar maupun usaha pribadi seperti dokter, konsultan, psikiater, dlsb, yang memiliki pendapatan baik harian, mingguan atau bulanan. Model muamalah seperti ini memang tidak banyak diketemukan dalam kehidupan Rasulullah dan para sahabat, tapi apakah diperlukan ijtihad untuk zakat profesi ini? Kenapa tidak digunakan zakat maal saja yang memang sudah ada perintahnya? Usut punya usut, perikehidupan modern memaksa manusia untuk hidup dari hutang sehingga mereka tidak mungkin bisa membayar zakat maal yang haulnya adalah setahun. Para karyawan dan pekerja di era modern ini sebenarnya memiliki penghasilan yang relative rendah dibanding kebutuhan primer mereka. Bank-bank yang ada, baik “syariah” maupun konvensional banyak memberikan bantuan berupa pinjaman dana kepada para karyawan agar mereka bisa memenuhi kebutuhan primer mereka terutama kebutuhan papan (rumah). Harga rumah yang cukup tinggi dibandingkan gaji karyawan, memaksa mereka untuk mengambil pinjaman dari bank, untuk kemudian melunasinya dengan cara mencicil per bulan selama periode yang bervariasi, 5, 10, 15 hingga 20 tahun. Belakangan, tidak hanya untuk kebutuhan primer, para karyawan dan pekerja juga di iming-imingi pinjaman untuk kebutuhan sekunder seperti kendaraan, rumah kedua, modal usaha, dlsb. Inilah perikehidupan modern yang kemudian memaksa Islam untuk mengeluarkan hukum-hukum zakat baru. Banyak karyawan yang ingin membayar zakat, tapi karena tabungan setaun mereka tidak akan pernah mencapai nishab zakat maal - karena memang selalu terpotong oleh beban hutang berupa cicilan-cicilan bulanan itu, kemudian muncullah ijtihad zakat profesi yang model dan besarannya mengikuti zakat pertanian, yaitu membayar zakat ketika panen sebesar 2.5%. Karyawan yang mendapat gaji harian/mingguan/bulanan, menyisihkan 2.5% untuk zakat jika memang telah melewati nishab, yg mengikuti perhitungan zakat pertanian, yaitu sekitar 520 kg beras. Memang, banyak juga ulama yang tidak sependapat dengan ijtihad penganalogian zakat profesi dengan zakat pertanian. Namun, ijtihad yang didukung ulama-ulama spt syaikh Abdur Rahman Hasan, syaikh Muhammad Abu Zahrah, syaikh Abdul Wahab Khalaf, dan syaikh Yusuf Qardhawi dalam muktamar internasional pertama tentang zakat di Kuwait pada tahun 1984 telah menjadi ajaran yang banyak di ambil oleh umat Islam. Tanpa bermaksud merendahkan keilmuan ulama-ulama tersebut, sebagaimana syeikh Imran Husen (seorang pakar akhir zaman) sering sampaikan dalam ceramah-ceramahnya, kebanyakan ulama kontemporer tidak memperhatikan esensi dari system ekonomi yang berlaku saat ini, ulama menutup mata dengan fakta kelam system ekonomi yang ditopang oleh instrumentasi ribawi ini, akibatnya adalah Islam tidak berperan sebagaimana mestinya yakni rahmatan lil ‘alamin untuk menciptakan keadilan di muka bumi, yang terjadi malah “syariatisasi riba”, pengkaburan makna riba, dan langgengnya system ekonomi ribawi dan kapitalisme yang merupakan perbudakan modern atas kebanyakan umat manusia ini. Lantas apa yang seharusnya di lakukan oleh umat Islam?

Alternatif zakat maal di era kelam akhir zaman
Sambil terus menggalang pengembalian uang emas/perak, atau komoditas yg bisa dijadikan alat tukar, sebagai mata uang, ada beberapa hal yang bisa kita, para karyawan dan pekerja lakukan untuk menimalisir dampak kapitalisme sekaligus menunaikan kewajiban zakat yang lebih aman dari tinjauan syariat. Karena sifat uang kertas yang ribawi, tentu saja tidak mungkin ada zakat uang kertas sebagaimana tidak ada kewajiban zakat pada orang yang berhutang. Maka yang bisa dilakukan oleh para karyawan adalah:

  • Mengubah gaya hidup dengan tidak mengikuti nafsu dalam memenuhi kebutuhan primernya, tidak mengambil pinjaman dari bank untuk membeli apapun,
  • Dari setiap gaji harian, mingguan atau bulanan yang diterima, sisihkan sebagian yang digunakan untuk operasional sehari-hari, dan sebagian yang bisa ditabungkan. Bagian yang ditabungkan hendaknya dirubah dalam bentuk asset yang memiliki value (emas, perak, tanah, dll), dalam hal ini yang lebih mudah liqudasinya adalah emas atau perak. Saat ini sudah ada lembaga seperti gerai dinar, m-dinar, dinar first, dlsb, yang memungkinkan umat Islam menyimpan harta/tabungan dalam bentuk emas atau perak
  • Tabungan ini dikumpulkan untuk keperluan pembelian kebutuhan primer seperti rumah agar tidak perlu berhutang ke bank
  • Ketika tabungan emas/perak telah melewati haul setahun, dan mencapai nishab zakat emas/perak, tentunya kita harus mengeluarkan zakatnya


Meskipun alternative ini belum 100% membebaskan kita dari jeratan ribawi ekonomi modern, namun insya Allah ini adalah bagian dari usaha maksimal yang bisa kita lakukan, ketimbang mengikuti ijtihad yang justru melanggengkan system riba dan juga mengekalkan umat Islam dalam belenggu kapitalisme, perbudakan modern, belenggu hutang yang memaksa manusia menjadi budak korporasi bertahun-tahun lamanya untuk menutup hutang cicilan kepada bank.

Penulis juga ingin mengkritisi saudara-saudara yang menolak zakat profesi namun masih mengakui zakat uang kertas. Di satu sisi, mereka menolak zakat profesi karena zakat profesi menggunakan metode qiyas, menurut mereka: karena sudah ada dalil zakat maal maka tidak perlu ada ijtihad baru zakat profesi dengan menqiyaskan zakat pertanian. Namun di sisi lain, mereka mengakui adanya zakat mata uang, dengan melakukan qiyas, yakni penganalogian uang kertas saat ini  yg sama fungsinya dengan uang emas/perak di zaman Rasulullah saw. Padahal seperti disebutkan dalam awal tulisan ini, sudah ada dalil yang jelas tentang definisi mata uang (alat tukar) dalam tinjauan syariat Islam, sehingga jika sudah ada dalilnya, tidak perlu lagi ada qiyas! Bahkan sudah jelas-jelas uang kertas adalah instrument ribawi yang digunakan musuh-musuh Allah dalam mengendalikan umat manusia.


Wallahua’lam bishawab...