Rasulullah saw adalah seorang Nabi akhir zaman, beliau
diutus untuk menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia, tanpa
kecuali. Salah satu pilar Islam yang merupakan rukun Islam yang ke 3 adalah
zakat. Menurut Hukum Islam (istilah syara’),
zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu,
menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu
(Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy). Pada makalah ini saya tidak akan
membahas detail bagaimana hukum zakat dan dalil-dalilnya. Insya Allah saya
sami’na wa atho’na dengan dalil-dalil yang ada terkait zakat. Namun, yang
menjadi persoalan adalah, kondisi yang ada di zaman kita, yang tentunya lebih
akhir dibanding zaman Rasulullah saw, sangat jauh berbeda dengan kondisi di
zaman Rasulullah, zaman pertama kali syariat zakat diterapkan. Jauhnya perbedaan
ini menimbulkan, bukan hanya pemahaman, tapi juga pelaksanaan yang berbeda-beda
dari ibadah zakat. Bagaimanapun zakat adalah sebuah ibadah, ia hanya akan sah
jika pelaksanaannya mengikuti rukun-rukun yang telah dicontohkan oleh baginda
Rasulullah saw, sebagaimana shalat, haji dan puasa. Shalat dan zakat, adalah
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, bahkan khalifah Abu Bakar ash-shidiq pernah
bersumpah akan memerangi orang-orang yang memisahkan shalat dengan zakat di
masa awal pemerintahannya. Ini menunjukkan kedudukan zakat yang sederajat
dengan shalat. Maka dari itu, penting bagi umat Islam untuk meninjau kembali
pelaksanaan ibadah zakat ini.
Membahas masalah zakat, tentu terkait langsung dengan harta,
karena memang sesuai definisi syariat di atas, bahwa zakat adalah pengambilan
sejumlah bagian dari harta seorang muslim (muzaki) ketika telah memenuhi
syarat-syarat tertentu, untuk diberikan kepada golongan tertentu (mustahik).
Hikmah dari zakat ini adalah meratanya kesejahteraan di kalangan umat manusia,
tidak seperti era kapitalisme saat ini dimana kesenjangan cukup lebar antara si
kaya dan si miskin. Meskipun saat ini zakat telah banyak dikelola oleh
lembaga-lembaga baik swasta maupun pemerintah, patut kita pertanyakan kenapa
kesenjangan masih saja menganga, bahkan cenderung melebar? Kita akan temukan jawabannya di bagian selanjutnya.
Dari jenis-jenis harta yang wajib di
keluarkan zakatnya, salah satunya adalah uang. Inilah pangkal dari kajian kita
kali ini, yaitu harta berupa uang (alat tukar) yang secara syar’i termasuk
harta yang harus dizakati, dan juga merupakan pangkal dari perbedaan pemahaman
dalil-dalil tentang zakat uang, lebih khususnya nanti akan di bahas beberapa
kontroversi terkait zakat mata uang dan zakat profesi. Mata uang ini menjadi
pangkal perbedaan karena memang terjadi deviasi yang sangat mendasar antara
uang di zaman Rasulullah saw, dengan uang di zaman kita ini.
Mata Uang (Alat
Tukar) Sesuai Sunnah Rasulullah saw
Kita akan membahas terlebih dulu uang di zaman Rasulullah
yang tentunya telah diakui sebagai alat tukar yang tidak menyalahi syariat.
Mari kita lihat hadits berikut:
Abu Sa'id al-Khudri menuturkan, "Bilal mendatangi Nabi
dg membawa kurma yg sgt baik. Nabi saw bertanya, "Dari manakah kurma2
ini?" Bilal menjawab, "Kami punya kurma yg kurang baik kualitasnya
sehingga aku menukarkan dua takar kurma yg jelek itu dg satu takar kurma yg
baik, agar kami bisa memberikannya kpd Nabi". Mendengar ucapan Bilal, Nabi
saw bersabda, "Oh, ohh! Itu riba, seperti itulah hakikat riba..! Jangan
lakukan itu. Jika kau ingin membeli, juallah kurmamu terlebih dahulu dan kemudian
belilah kurma yg kau inginkan dengan uang hasil penjualan itu". (HR.
Bukhari-Muslim).
Dari hadits ini kita bisa melihat Rasulullah saw melarang
tukar menukar barang sejenis, kurma dengan kurma, meskipun berbeda kualitas,
dengan jumlah takaran yang berbeda. Rasulullah mengatakan bahwa penukaran
seperti itu adalah hakikat dari riba. Tapi perhatikan dalil lain berikut:
Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik dari Naf’I bahwa
Abdullah bin Umar membeli (menukar) seekor unta tunggangan betina dengan empat
ekor unta lain dan dia berjanji untuk memberikan unta-unta tersebut kepada
pembeli di ar-Rabadha. (Muwatta, Imam Malik)
Kita patut bertanya, mengapa tukar menukar kurma dalam
jumlah/takaran yang berbeda (meskipun beda kualitas) dilarang oleh Rasulullah,
sementara dalam hadits lain seorang sahabat yakni Abdullah ibnu Umar boleh melakukan
pembelian (penukaran) satu ekor unta untuk empat unta lain.
Dari hadits berikut insya Allah kita akan bisa menyimpulkan
jawabannya:
Abu Said Al-Khudri ra melaporkan, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama kadarnya dan
janganlah melebihkan sebagiannya dengan mengurangi sebagian yang lain.
Janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama kadarnya dan janganlah
melebihkan sebagiannya dengan mengurangi sebagian yang lain. Dan janganlah
menjual sesuatu yang berjangka dengan yang kontan. (Sahih Muslim).
Dari ketiga hadits di atas, kita dapat menarik beberapa
kesimpulan terkait alat tukar yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw dan para
sahabat:
Pertama, alat
tukar (uang) dalam Islam adalah logam berharga seperti emas dan perak (sesuai
hadits ketiga), atau komoditi lain seperti tepung, gandum, kurma dan garam yang
merupakan komoditi konsumsi/bahan pokok makanan yang memiliki umur simpan yang
panjang. Ketika terjadi kelangkaan koin dinar dan dirham di Madinah, maka
komoditi seperti kurma, yang melimpah ruah tersedia di pasaran dan memiliki
umur simpan yang lama, bisa digunakan sebagai alat tukar (uang). Adapun unta,
penukaran satu unta dengan empat unta diperbolehkan karena binatang tidak
pernah digunakan sebagai alat tukar (uang). Penukaran satu sha’ kurma (kualitas
bagus) dengan dua sha’ kurma (kualitas rendah) dilarang oleh Rasulullah karena
kurma adalah komoditi yang bisa dijadikan alat tukar (uang), sebagaimana emas
dan perak. Seandainya hal ini diperbolehkan maka akan membuka pintu bagi para
lintah darat untuk meminjamkan uang dengan tambahan bunga.
Selain komoditi yang disebutkan di atas, bahan pokok seperti
beras dan gula juga bisa dijadikan alat tukar yang memenuhi standar syariat.
Maka perlu diperhatikan, jangan sampai melakukan penukaran langsung antara
beras/gula yang satu dengan yang lain dalam jumlah takaran yang berbeda. Jika
hendak melakukan, maka juallah terlebih dulu, kemudian uangnya digunakan untuk
membeli yang lain. Dengan demikian, semua celah riba bisa tertutup rapat.
Kedua, ketika
emas, perak, tepung, gandum, kurma dan garam (juga beras dan gula, dll)
digunakan sebagai uang, nilai uang ada pada fisik alat tukar tersebut, bukan di
luar itu. Sehingga, menjadi tuntutan syariah Islam, uang harus memiliki nilai
langsung, atau intrinsic value.
Ketiga, komoditi
yang dijadikan alat tukar (uang) dalam Islam adalah komoditi yang nilainya
langsung diberikan oleh Allah swt, artinya tidak ada rekayasa atau intervensi
manusia. Allah menyatakan diri-Nya adalah Ar-Razak, Sang Pemberi rizki, Sang
Pemberi kekayaan kepada makhluk-Nya. Ini menutup kemungkinan manusia
memperbudak manusia lain dengan mengendalikan nilai mata uang (seperti terjadi
di era kapitalisme saat ini).
Uang Modern: Uang
Kertas, Uang Digital
Setelah membahas definisi uang menurut syariah Islam,
marilah kita tengok kenyataan uang yang kita gunakan saat ini. Semoga Allah
membuka mata hati para pembaca sekalian sehingga kemudian bisa menyadari
kenyataan yang selama ini tidak kita sadari. Semoga pula Allah menghindarkan
kita dari sikap sombong menolak kebenaran setelah fakta ini disampaikan, sehingga
masih saja kita mencari celah pembenaran tanpa disadari kita kemudian mewarisi
sifat Iblis laknatullah ‘alaih – bathorul haq!
Membahas uang modern kita perlu flash back beberapa generasi
kebelakang untuk mengetahui evolusi mata uang, bagaimana dulu uang modern
menggantikan mata uang emas/perak. Karena sebelumnya tidak dikenal mata uang
seperti saat ini, dari zaman babylonia kuno, logam berharga sudah menjadi alat
tukar, hingga peradaban Byzantium, Romawi, Persia, Mongol, Yunani, dan Islam
pun menggunakan logam mulia sebagai alat tukar. Sebagian dari peradaban ini
memang saling berperang, tapi kesamaan seluruh peradaban tersebut adalah
menjadikan emas dan perak sebagai mata uang dalam perekonomiannya. Antar
peradaban pun berinteraksi secara ekonomi, tanpa arbitrasi yang rumit dalam
jual beli, masing-masing bisa menggunakan uang sendiri dan saling tukar karena
memiliki standard yang sama, emas dan perak dengan takaran khusus – dinar, dirham.
Peradaban modern telah mengganti mata uang emas dan perak itu dengan uang fiat,
atau uang tanpa nilai intrinsic.
Para perancang ekonomi modern secara sistematis menggeser
emas dan perak yang merupakan mata uang yang stabil untuk tujuan tertentu.
Mereka mendesain sebuah system moneter sedemikian rupa sehingga mereka memiliki
kemampuan untuk mengendalikan sumber-sumber ekonomi (sumber daya alam dan
manusia), dan dengannya mereka – para bankir – bisa memiliki kekuatan absolut
dalam mengendalikan kebijakan-kebijakan pemerintah/penguasa. Manipulasi seperti
ini tidak bisa dilakukan jika alat tukar yang digunakan adalah emas dan perak,
maka pada tahap awal, orang-orang ini mengenalkan system yang disebut sebagai
Fractional Reserve Banking System.
Kelahiran Bank
Disini akan kita bahas bagaimana uang modern menggeser
posisi emas dan perak sebagai mata uang. Segalanya bermula dari “tempat
penitipan uang emas dan perak” yang digagas oleh Yahudi dengan tujuan awal yang
memang masuk akal, yaitu agar orang-orang tidak perlu membawa atau menyimpan
uang dalam jumlah banyak, terutama para saudagar-saudagar kaya. Inilah cikal
bakal system perbankan. Yahudi ini menawarkan jasa penyimpanan uang, dan
siapapun yang menyimpan uang akan menerima tanda terima, semacam kwitansi sesuai
dengan jumlah uang yang dititipkan. Jika seseorang menitipkan 1000 dinar ke
penitipan uang ini, maka ia akan mendapatkan lembaran surat, sertifikat, atau
kwitansi dengan tertulis angka sesuai nominal yang dititipkan yakni 1000 dinar.
Surat atau kwitansi ini pada perjalanan waktu digunakan juga dalam transaksi
jual beli, pembeli membayar dengan kwitansi tersebut, dan penjual bisa menukar
kwitansi tersebut dengan uang aslinya (dinar) di tempat penitipan uang
terdekat.
Lama kelamaan transaksi menggunakan kwitansi menjadi semakin
populer, penjual dan pembeli semakin merasa nyaman dengan transaksi yang mudah
seperti itu. Mereka bisa menukar kwitansi kapanpun mereka mau. Yahudi licik
pemilik bisnis penitipan uang ini menangkap aroma bisnis baru menggandakan uang
mereka sehingga kemudian mereka mencetak kwitansi yang melebihi jumlah asset
yang disimpan/dititipkan oleh nasabah. Contoh, jika penitipan, atau sebut saja
bank memiliki asset 10,000 dinar, bank tersebut kemudian menerbitkan kwitansi
untuk 100,000 dinar. Maka ada 90,000 dinar dalam bentuk kwitansi dilempar ke
masyarakat, bisa dalam bentuk pinjaman, yang sejatinya tidak dibackup oleh
dinar emas. Ketika peminjam membayar pinjamannya kepada bankir, yang dibayarkan
adalah uang dinar sebenarnya. Inilah yang menguntungkan bankir, ia bisa
mendapatkan resource yang real (emas, perak, dan sumber daya lainnya) hanya
dengan meminjamkan kwitansi atau kertas yang disebut uang. Apakah pembaca sudah
menyadari bahwa selama ini seperti keledai? Mari kita lanjutkan evolusi bank
ini.
Di sisi lain, orang-orang tidak menyadari bahwa diantara
kwitansi-kwitansi yang beredar, banyak kwitansi yang tidak memiliki asset nyata
di bank, sehingga jika seluruh pemegang kwitansi secara bersamaan ingin
menukarkan kwitansinya dengan uang asli, bank tidak akan bisa memberikannya.
Cikal bakal bank ini awalnya terjadi di belahan Eropa, kemudian berkembang
lintas benua sepanjang abad ke 16 hingga abad ke 17. Orang-orang semakin nyaman
menggunakan bank karena memudahkan kegiatan ekonomi mereka, setidaknya itu yang
mereka sangka. Pada hakikatnya, bankir menipu orang-orang dengan menyebarkan
kwitansi bodong. Hingga suatu saat terjadi bencana peperangan, orang-orang
mulai berduyun-duyun ke bank untuk mencairkan asset mereka, uang asli emas perak.
Ribuan orang bermaksud menukar kwitansi, termasuk kwitansi bodong, tentu saja
bank tidak memiliki asset sebanyak itu. Maka bank pun menjadi bangkrut dan
bankir menelan kerugian yang besar. Ini banyak terjadi pada bank-bank kurun
awal abad ke 19. Melihat gejala yang kurang menguntungkan kemudian kumpulan
bankir yahudi melakukan gathering pada tahun 1913 yang kemudian melahirkan ide
pembentukan konsorsium bank besar yang nantinya bertugas membantu bank-bank
kecil jika dibutuhkan untuk menyelamatkannya dari kebangkrutan. Inilah awal
mula terbentuknya Federal Reserve.
Penting untuk dicatat disini bahwa Federal Reserve BUKANLAH
milik pemerintah Amerika (Negara adikuasa saat itu), tapi milik beberapa bankir
kakap seperti bank of New York dan bank milik keluarga Rothschild, bank of England.
Secara diam-diam, Federal Reserve mempengaruhi kebijakan
pemerintah Amerika dengan penerapan pajak pendapatan pada Desember 1913. Undang-undang
pajak ini digunakan oleh para elit bankir untuk merampok kekayaan dari para
pekerja dan buruh dan memenuhi kantong-kantong mereka dengan membajak system
keuangan Amerika. Selanjutnya, gangster bankir ini mengendalikan supply uang
(kertas) di Amerika dengan mencetak sesuai keinginan, setiap kali pemerintah
Amerika membutuhkan dana, mereka meminta kepada Federal Reserve untuk mencetak
uang dan Federal Reserve memberikan uang itu dalam bentuk pinjaman, ya
pinjaman. Tentunya pinjaman ini harus dikembalikan oleh pemerintah Amerika,
beserta bunganya. Darimana pemerintah Amerika bisa membayar cicilan pinjaman
itu selain dengan menerapkan pajak yang tinggi kepada rakyatnya (dan juga
dengan memeras Negara-negara lain). Ketika terjadi bailout, rakyat Amerika pula
yang menanggung akibatnya. Inilah kerusakan yang ditimbulkan dari system
keuangan yang berlandaskan riba.
Perampokan Bersejarah
tahun 1933
Pada tahun 1933, pemerintah Amerika dibawah Presiden
Roosevelt menerapkan undang-undang yang mengharamkan penggunaan emas dan perak
oleh warga Amerika untuk transaksi bisnis sehari-hari. Siapa saja yang
melanggar peraturan ini akan dikenakan sangsi hingga 10,000 dollar termasuk
ancaman penjara. Akibat aturan ini orang-orang mulai menukar emas mereka ke
Federal Reserve, sebaliknya Federal Reserve memberikan kertas kwitansi yang
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah untuk transaksi bisnis. Pada saat itu harga
emas sekitar 20 dollar per ons. Tak berapa lama kemudian, pemerintah
membolehkan orang-orang untuk mengambil kembali (membeli kembali) emas mereka,
sehingga orang-orang berduyun-duyun melakukannya. Orang-orang tersentak ketika
mendapati bahwa mereka harus mengembalikan kwitansi senilai 35 dollar untuk satu
ons emas mereka. Dengan demikian, bankir telah berhasil menelan hampir separuh
dari emas milik masyarakat Amerika.
Kenapa harga emas bisa meningkat demikian cepat dan apa yang
para bankir lakukan dengan hampir setengah emas milik rakyat Amerika yang
mereka telan? Hingga hari ini, tidak ada jawaban yang jelas. Meski demikian,
cukup mengherankan rakyat Amerika hanya diam seribu bahasa dan membiarkan
dirinya tertipu tanpa banyak bertanya mengenai devaluasi yang terjadi, meski
sebenarnya itu tidak masuk rasional siapa saja yang memiliki akal.
Yang terjadi sebenarnya adalah,
para bankir menjadikan rakyat Amerika sebagai kelinci percobaan, mereka sedang
mematangkan trick tersebut yang akan diterapkan pada system moneter
internasional demi mendapatkan efek yang jauh lebih dahsyat. Untuk memulai
penerapannya, dirancanglah Perang Dunia pertama yang mereka biayai, dengan cara
meminjamkan dana (uang kertas) ke penguasa-penguasa Eropa. Setelah terjadi
penghancuran kolosal akibat perang, para bankir mendapatkan pembayaran dari
pemerintah Eropa sebagai pelunasan pinjaman biaya perang, bukan dalam bentuk
uang kertas, tapi dalam bentuk bahan mentah emas (bullion)! Dengan modus yang
sama, ini terjadi juga pada perang Dunia ke-2. Setelah PD II, seluruh sektor
industri di Eropa praktis dikendalikan oleh oligarki bankir. Inilah cara bankir
internasional menguasai cadangan emas dunia, pada pertengahan abad 20, sekitar
80% cadangan emas dunia berada di bawah kendali bankir-bankir ini.
Langkah berikutnya setelah Eropa,
mereka menuju lahan yang lebih luas, dunia! Di awali dengan konfrensi Bretton
Woods. Kesepakatan yang didapat dari konferensi tersebut adalah pembentukan
Bank Internasional yang bertugas mengatur (atau dengan kata lain,
mengendalikan) regulasi ekonomi dunia. Penting untuk dicatat bahwa piagam
kesepakatan Bretton Woods yang melahirkan organisasi International Monetary
Fund (IMF) secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada satu Negara pun di dunia
yang diperbolehkan menggunakan emas/perak sebagai mata uang, tidak
diperbolehkan juga Negara selain Amerika membackup mata uang kertasnya dengan
emas. Hanya dollar Amerika saja yang dibackup oleh emas, sehingga dollar
kemudian menjadi mata uang standar untuk perdagangan internasional, yang
berlangsung hingga kini. Pada saat itu setiap 35 dollar Amerika dibackup oleh
asset satu ons emas, cukup menggiurkan bagi Negara-negara lain untuk menyetok
dollar Amerika di rekening mereka. Seluruh perdagangan internasional dilakukan
dalam dollar, terutama minyak. Dua pusat perdagangan minyak dibangun, yaitu di
London dan New York. Dollar Amerika pun menjadi mata uang minyak
(petro-currency).
Komplotan bankir jahat ini masih
belum puas dengan kekuasaan mereka terhadap perekonomian dunia, mereka
menghendaki pengendalian dunia lebih jauh lagi. Mereka mulai menekan pemerintah
Amerika agar melepas dollarnya dari backup emas. Dan akhirnya pada tahun 1971,
akibat tekanan yang sangat intensif dari bankir, Richard Nixon mengakhiri
standar emas pada Dollar Amerika. Dollar pun secara resmi menjadi uang kertas
yang tidak dibackup value apapun. Ke depannya, dan saat ini pun sudah dapat
kita rasakan kehadiran model alat tukar baru yang nantinya akan memastikan
total pengendalian dunia oleh bankir oligarki yang misterius ini, yakni uang
digital atau electronic money. Uang digital ini benar-benar menghilangkan uang
secara fisik, digantikan oleh digit-digit elektronik yang tentunya hanya bisa
dikendalikan oleh bank. Ketika model uang ini telah menjadi alat tukar di
dunia, maka lengkaplah pengendalian bankir terhadap seluruh umat manusia, baik
laki-laki, perempuan, anak-anak, muda, tua, tanpa kecuali.
Apakah Bank Syariah benar-benar syariah?
Menengok sejarah kelam dari
instrument ekonomi uang modern yang saat ini kita semua gunakan, rasanya wajar
pertanyaan ini kita kemukakan. Jawabannya pun mungkin bervariasi, tergantung
sudut pandang, dan juga pastinya “kepentingan”. Bagaimanapun para oligarki
bankir, mereka memiliki kekuatan dan kerja yang sangat rapi, segala cara akan
mereka lakukan untuk memastikan system ekonomi ribawi ini tetap eksis supaya umat
manusia tetap berada dalam genggaman kendali mereka. Termasuk cara-cara
infiltrasi yang cukup jitu membungkam umat manusia, terutama umat Islam yang
semestinya menjadi umat terdepan dalam memerangi riba. Maka,
pemikiran-pemikiran pembaruan dalam hal ekonomi modern masuk dalam khasanah
keilmuan syariat melalui para cendekiawan muslim, hingga saat ini kita bisa
melihat sudah banyak pakar ekonomi syariah. Satu hal yang kita pahami bersama,
bahwa syariat Allah sudah pasti menghendaki terciptanya keadilan di muka bumi.
Lantas, apakah mungkin sebuah system dikatakan syariah (comply dengan syariat
Allah), jika masih menggunakan instrument ribawi seperti uang kertas dan uang
digital? Di bagian sebelumnya sudah sama-sama kita pahami bahwa instrument
tersebut adalah alat pengendalian umat manusia oleh segelintir manusia jahat
yang ingin menguasai dunia. Tidak perlu kita perdebatkan panjang lebar,
silahkan pembaca renungkan sendiri. Penulis yakin, tidak diperlukan gelar PhD,
doktor ataupun professor untuk memahami penipuan ini. Semoga umat Islam makin
menyadari bahaya infiltrasi yang memecah umat Islam dari dalam. Rasulullah saw
mengatakan dalam sebuah hadits akhir zaman, bahwa akan datang suatu masa, umat
Islam bagaikan makanan yang diperebutkan oleh musuh-musuh Allah. Mengapa beliau
saw mengumpamakan umat Islam seperti makanan? Ada dua karakteristik makanan yg
patut kita renungkan, pertama makanan adalah sesuatu yang mati, tidak bergerak,
maksudnya umat Islam di akhir zaman benar-benar tidak bergerak, tidak melawan,
kalaupun ada perlawanan maka kekuatannya jauh dibawah musuh-musuh Allah. Kedua,
makanan memberikan energy kepada siapa yang memakannya. Umat Islam, karena
meninggalkan alQuran dan Sunnah, membiarkan akal mereka terpasung dalam
doktrinasi mainstream, pada akhirnya malah menciptakan sesuatu yang
menguntungkan musuh-musuh Allah. Apa yang kita kenal sebagai “Bank Syariah”
inilah contohnya. Contoh lain adalah masuknya umat Islam dalam permainan
demokrasi. Wallahua’lam.
Zakat Profesi atau Zakat Maal?
Kembali ke inti pembahasan
tulisan ini, yakni zakat. Salah satu pembaharuan yang terjadi dalam khasanah
ilmu perzakatan adalah zakat profesi. Zakat ini menjadi ijtihad terbaru para
ulama kontemporer untuk menjawab “tuntutan zaman”. Tuntutan zaman itu adalah
banyaknya manusia yang bekerja menjual jasa di era modern, baik di
korporasi-korporasi besar maupun usaha pribadi seperti dokter, konsultan,
psikiater, dlsb, yang memiliki pendapatan baik harian, mingguan atau bulanan.
Model muamalah seperti ini memang tidak banyak diketemukan dalam kehidupan
Rasulullah dan para sahabat, tapi apakah diperlukan ijtihad untuk zakat profesi
ini? Kenapa tidak digunakan zakat maal saja yang memang sudah ada perintahnya?
Usut punya usut, perikehidupan modern memaksa manusia untuk hidup dari hutang
sehingga mereka tidak mungkin bisa membayar zakat maal yang haulnya adalah
setahun. Para karyawan dan pekerja di era modern ini sebenarnya memiliki
penghasilan yang relative rendah dibanding kebutuhan primer mereka. Bank-bank
yang ada, baik “syariah” maupun konvensional banyak memberikan bantuan berupa
pinjaman dana kepada para karyawan agar mereka bisa memenuhi kebutuhan primer
mereka terutama kebutuhan papan (rumah). Harga rumah yang cukup tinggi
dibandingkan gaji karyawan, memaksa mereka untuk mengambil pinjaman dari bank,
untuk kemudian melunasinya dengan cara mencicil per bulan selama periode yang
bervariasi, 5, 10, 15 hingga 20 tahun. Belakangan, tidak hanya untuk kebutuhan
primer, para karyawan dan pekerja juga di iming-imingi pinjaman untuk kebutuhan
sekunder seperti kendaraan, rumah kedua, modal usaha, dlsb. Inilah
perikehidupan modern yang kemudian memaksa Islam untuk mengeluarkan hukum-hukum
zakat baru. Banyak karyawan yang ingin membayar zakat, tapi karena tabungan
setaun mereka tidak akan pernah mencapai nishab zakat maal - karena memang
selalu terpotong oleh beban hutang berupa cicilan-cicilan bulanan itu, kemudian
muncullah ijtihad zakat profesi yang model dan besarannya mengikuti zakat
pertanian, yaitu membayar zakat ketika panen sebesar 2.5%. Karyawan yang
mendapat gaji harian/mingguan/bulanan, menyisihkan 2.5% untuk zakat jika memang
telah melewati nishab, yg mengikuti perhitungan zakat pertanian, yaitu sekitar
520 kg beras. Memang, banyak juga ulama yang tidak sependapat dengan ijtihad
penganalogian zakat profesi dengan zakat pertanian. Namun, ijtihad yang
didukung ulama-ulama spt syaikh Abdur Rahman Hasan, syaikh Muhammad Abu Zahrah,
syaikh Abdul Wahab Khalaf, dan syaikh Yusuf Qardhawi dalam muktamar
internasional pertama tentang zakat di Kuwait pada tahun 1984 telah menjadi
ajaran yang banyak di ambil oleh umat Islam. Tanpa bermaksud merendahkan
keilmuan ulama-ulama tersebut, sebagaimana syeikh Imran Husen (seorang pakar
akhir zaman) sering sampaikan dalam ceramah-ceramahnya, kebanyakan ulama
kontemporer tidak memperhatikan esensi dari system ekonomi yang berlaku saat
ini, ulama menutup mata dengan fakta kelam system ekonomi yang ditopang oleh instrumentasi
ribawi ini, akibatnya adalah Islam tidak berperan sebagaimana mestinya yakni
rahmatan lil ‘alamin untuk menciptakan keadilan di muka bumi, yang terjadi malah
“syariatisasi riba”, pengkaburan makna riba, dan langgengnya system ekonomi
ribawi dan kapitalisme yang merupakan perbudakan modern atas kebanyakan umat
manusia ini. Lantas apa yang seharusnya di lakukan oleh umat Islam?
Alternatif zakat maal di era kelam akhir
zaman
Sambil terus menggalang
pengembalian uang emas/perak, atau komoditas yg bisa dijadikan alat tukar,
sebagai mata uang, ada beberapa hal yang bisa kita, para karyawan dan pekerja
lakukan untuk menimalisir dampak kapitalisme sekaligus menunaikan kewajiban
zakat yang lebih aman dari tinjauan syariat. Karena sifat uang kertas yang
ribawi, tentu saja tidak mungkin ada zakat uang kertas sebagaimana tidak ada
kewajiban zakat pada orang yang berhutang. Maka yang bisa dilakukan oleh para
karyawan adalah:
- Mengubah
gaya hidup dengan tidak mengikuti nafsu dalam memenuhi kebutuhan primernya,
tidak mengambil pinjaman dari bank untuk membeli apapun,
- Dari
setiap gaji harian, mingguan atau bulanan yang diterima, sisihkan sebagian yang
digunakan untuk operasional sehari-hari, dan sebagian yang bisa ditabungkan.
Bagian yang ditabungkan hendaknya dirubah dalam bentuk asset yang memiliki
value (emas, perak, tanah, dll), dalam hal ini yang lebih mudah liqudasinya
adalah emas atau perak. Saat ini sudah ada lembaga seperti gerai dinar,
m-dinar, dinar first, dlsb, yang memungkinkan umat Islam menyimpan harta/tabungan
dalam bentuk emas atau perak
- Tabungan
ini dikumpulkan untuk keperluan pembelian kebutuhan primer seperti rumah agar
tidak perlu berhutang ke bank
- Ketika
tabungan emas/perak telah melewati haul setahun, dan mencapai nishab zakat
emas/perak, tentunya kita harus mengeluarkan zakatnya
Meskipun alternative ini belum
100% membebaskan kita dari jeratan ribawi ekonomi modern, namun insya Allah ini
adalah bagian dari usaha maksimal yang bisa kita lakukan, ketimbang mengikuti
ijtihad yang justru melanggengkan system riba dan juga mengekalkan umat Islam
dalam belenggu kapitalisme, perbudakan modern, belenggu hutang yang memaksa
manusia menjadi budak korporasi bertahun-tahun lamanya untuk menutup hutang
cicilan kepada bank.
Penulis juga ingin mengkritisi saudara-saudara
yang menolak zakat profesi namun masih mengakui zakat uang kertas. Di satu
sisi, mereka menolak zakat profesi karena zakat profesi menggunakan metode qiyas, menurut mereka: karena sudah ada dalil zakat maal maka tidak perlu ada ijtihad
baru zakat profesi dengan menqiyaskan zakat pertanian. Namun di sisi lain,
mereka mengakui adanya zakat mata uang, dengan melakukan qiyas, yakni
penganalogian uang kertas saat ini yg
sama fungsinya dengan uang emas/perak di zaman Rasulullah saw. Padahal seperti
disebutkan dalam awal tulisan ini, sudah ada dalil yang jelas tentang definisi
mata uang (alat tukar) dalam tinjauan syariat Islam, sehingga jika sudah ada
dalilnya, tidak perlu lagi ada qiyas! Bahkan sudah jelas-jelas uang kertas
adalah instrument ribawi yang digunakan musuh-musuh Allah dalam mengendalikan
umat manusia.
Wallahua’lam bishawab...